Rabu, 16 April 2014

2 weeks notice

Hari ini, dua minggu lagi saya resmi berhenti dari pekerjaan saya. I'm a stay at home mom to be.

Why tika? Why?

Sebenarnya memutuskan untuk berhenti bekerja bukanlah pilihan yang gampang buat saya. Sudah 9 tahun saya jd wanita pekerja. Empat tahun belakangan ini saya jalani dengan meninggalkan anak di rumah dengan pengasuhnya. Setiap hari selalu merelakan dia dibawah pengasuhan orang lain sambil berdoa, "Ya Allah, jagakanlah dia".
Setiap sore, selalu berjibaku dengan padatnya jalanan ibukota, berharap dan berdoa dalam hati, "Traffic, please be kind to me today. I have to arrive at home soon and safely".

Saya adalah orang yang harus tau limit diri saya sendiri agar saya bisa melewatinya. Tapi dalam kasus ini, silakan bilang saya gampang menyerah, silakan bilang saya tidak mampu break the limit. Tapi limit saya untuk jadi ibu tak terbatas. Saya merasa, saat ini anak saya lebih membutuhkan saya. Perusahaan tempat saya bekerja pasti dengan mudah mencari pengganti saya, tapi saya ini tidak bisa tergantikan bagi anak saya.

So, Boss, I'm sorry goodbye.....

Takut? Iya saya takut. Saya ini lembam, tidak suka perubahan. Tapi saya tau, apapun yang terjadi dunia akan terus berputar. Saya menjalani ini tidak sendiri. Ada seorang laki-laki yang terus mendukung saya. Ada laki-laki yang sangat bahagia sekali ketika saya pada akhirnya membuat surat pengunduran diri. Ada seorang laki-laki yang nantinya akan bekerja lebih keras lagi demi menghidupi anak dan istrinya. Yes, it's you, Jendral. Thank you for always being you :) .

Dan ada seorang anak wedok yang selalu bersinar-sinar. Yang pasti akan lebih susah dihadapi dari pada setumpuk pekerjaan di kantor.

Sampai kapan? Sampai waktunya tiba saya bekerja kembali. Saat ini pasti akan lebih picky dalam mencari tempat kerja baru. Karena akan banyak pertimbangan, salah satunya jarak dari rumah.

Let's go dancing in the rain, Jendral. Welcome to our new journeys.

Read More

Selasa, 01 April 2014

Saya dan Si Mbak

Tulisan ini dibuat ketika nemenin si kecil yg lagi demam, si mbak sudah 3 hari ijin pulang kampung, dan suami yg tugas di luar kota. Saya yg sudah pakai seragam siap-siap mau berangkat akhirnya memilih ganti baju dan ijin tidak ke kantor hari ini.

Dilema si mbak (ART) pasti dialami hampir semua ibu-ibu yang pernah punya ART. Apalagi ibu-ibu pekerja seperti saya.
Menjaga hubungan dengan ART termasuk susah-susah gampang. Susah-susah gampang, berarti banyakan susahnya dari pada gampangnya, hahahaaa... Yah bagaimana tidak susah, cari ART bisa berbulan-bulan baru bisa dapat. Saya lebih memilih mencari ART lewat kenalan dari pada lewat yayasan. Setelah ART bekerja di rumah kita, kita harus menjelaskan peraturan serta kebiasaan di rumah. Dan yang paling penting, anak saya bisa beradaptasi dengan si mbak barunya ini.

Selama punya si mbak, saya bersaha memperlakukan dia seperti keluarga saya sendiri, bagaimana tidak karena sehari-hari dia tinggal dengan saya. Mengurusi keperluan anak saya. Jadi, saya ingin orang yang kerja di rumah saya merasa nyaman. Kenapa? Karena saya ini sebenarnya sama dengan dia, sama-sama pekerja.

Hampir 9 tahun saya menjadi karyawan di sebuah perusahaan swasta. Kasarnya, saya kerja ke orang. Bukan wiraswasta. Jadi intinya saya berusaha memperlakukan ART sebagaimana saya ingin diperlakukan oleh atasan dan perusahaan tempat saya bekerja. Tetapi, terkadang ada hal-hal yang tidak sesuai harapan. Hal-hal tersebut merupakan pelajaran buat saya agar saya tidak melakukan hal itu kepada ART saya. Dengan harapan agar dia nyaman bekerja dengan saya. Bukan kerja di bawah tekanan dan terpaksa bertahan demi uang bulanan saja.

Akhirnya hanya bisa pasrah dan berdoa semoga si mbak balik sesuai janjinya. Amin :)

Read More

Bermain Sambil Belajar



Suatu hari, saya mengajak si kecil ke tempat bermain yang ada di sebuah mall yang letaknya tidak jauh dari rumah. Seandainya ada pilihan untuk pergi ke taman kota, saya pasti akan mengajak anak saya ke sana. Tetapi di daerah saya belum ada fasilitas taman kota yang nyaman. Akhirnya, arena bermain di mall yang jadi alternatif saya untuk mengajak si kecil bermain di luar.

Banyak sekali wahana permainan di tempat ini, tetapi saya hanya memberi 3 kali kesempatan bermain kepada si kecil. Sebelumnya saya telah membeli 3 tiket, nanti si kecil akan memilih sendiri 3 wahana permainan yang paling disukainya. Awalnya, tiap kali ke sini selalu berakhir dengan tangisan si kecil yang tidak mau saya ajak pulang, dia masih kurang bermain di sana. Tetapi saya selalu menjelaskan, bahwa dia hanya bisa bermain 3 kali saja. Meskipun berkali-kali terjadi, akhir-akhir ini si kecil mulai mengerti, setelah 3 tiket habis dia pakai dia tidak menangis lagi ketika saya ajak keluar dari area bermain itu.Yah meskipun sekali-kali masih ada protes dari dia. Tetapi saya selalu mengatakan bahwa lain kali masih ada kesempatan lagi untuk bermain di sini. 

Ternyata, melatih anak-anak untuk bisa mengerti penjelasan kita itu bukan hal yang mudah. Harus diulang berkali-kali, tak jarang disertai oleh tangisan bahkan tantrum. Tekanan buat saya, sebagai ibunya, akan bertambah karena terkadang dia menagis dan tantrum di tempat umum. It's not easy to deal with it. Saya bukannya pelit hanya memberinya kesempatan bermain hanya 3 kali. Saya hanya ingin anak saya mengerti tentang komitmen, karena biasanya sebelum bermain, perjanjian di awal bahwa kita hanya bermain 3 kali saja. Selain itu, saya ingin mengajari si kecil tentang prioritas. Dengan hanya punya 3 kali kesempatan, dia akan memilih wahana permainan mana saja yang dia suka dari sekian banyak permainan yang ada di sana.

Banyak sekali pelajaran yang sebenarnya bisa kita ajarkan kepada si kecil sambil berjalan-jalan. Selain hal yang sudah saya sebut di atas, saya bisa mengajari si kecil untuk mengantri. Mulai dari antri ketika membeli tiket, dan antri ketika akan masuk ke sebuah wahana permainan. Tetapi sering saya dibuat jengkel oleh ulah orang tua lain, yang dengan seenaknya menyerobot antrian membeli tiket. Lebih parahnya, terkadang di depan pintu sebuah wahana permainan, seorang ibu menyuruh anaknya untuk menerobos antrian. Ketika saya melihat hal-hal yang seperti itu, saya hanya bisa bilang kepada si kecil, bahwa itu contoh yang salah, kita tidak boleh seperti itu.

Seharusnya kita, sebagai orang tua, yang memberikan pelajaran-pelajaran tentang kebaikan. Kebiasaan-kebiasaan kecil yang kita lakukan bersama anak akan membentuk watak dan karakter anak. Si kecil adalah peniru ulung, dia akan menirukan apa yang kita lakukan, apa yang kita bicarakan. Saya sadar, saya bukanlah manusia yang sempurna, tetapi setidaknya saya berusaha untuk selalu menjadi yang lebih baik demi anak saya. Karena saya adalah guru pertama buat anak saya.
Read More
Powered By Blogger
Diberdayakan oleh Blogger.

© 2011 Me, My self and The Universe, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena